R.A Kartini sudah melakukan pergerakan emansipasi wanita sejak penjajahan Belanda. Namun masih banyak yang menyerahkan urusan rumah tangga pada wanita sesibuk apapun dia.
Perempuan
memang sudah mendapatkan haknya untuk berkecimpung aktif baik dalam pendidikan
maupun pekerjaan. Bahkan tidak sedikit profesi di bidang teknik yang dijalankan
perempuan secara gemilang. Namun, anehnya, tanggung jawab mengurus keluarga
tetap dibebankan pada wanita.
Lelaki,
masih banyak yang enggan ikut mengurus rumah tangga bersama sang istri. Lelaki
tidak malu apalagi gengsi saat sudah banyak wanita yang bisa mengerjakan
pekerjaan lelaki. Tapi mereka tetap tidak mau mengerjakan pekerjaan domestik
rumah tangga. Sehabis bekerja seharian, sang wanita juga diminta mengurusi
rumah dan anak.
Sedangkan
sang lelaki? Biasanya tinggal ongkang-ongkang kaki menunggu cemilan sore atau
santap malam. Sementara wanitanya sibuk memandikan dan mengurusi anak yang
masih kecil-kecil sambil menyiapkan masakan. Tak jarang yang berlaku seperti
itu adalah para lelaki yang menganggur !
Ini
artinya, kemampuan wanita sudah 2x lipat lelaki. Ini artinya, penampilan fisik
lelaki yang lebih perkasa dan lebih kuat hanyalah kamuflase agar tetap bisa
menindas wanita jika mereka sedang marah. Lelaki justru tidak bisa mengimbangi
kemampuan fisik wanita yang lebih lemah.
Sikap
seperti ini adalah bentuk penolakan secara tidak langsung terhadap emansipasi
wanita. Sikap seperti ini juga menunjukkan masih nyamannya lelaki dengan
gayanya kolonialnya.
Biasanya
laki-laki akan berdalih, “Kalau urusan rumah-tangga ya sudah jadi tugas
perempuan”. Padahal anak yang hanya dibesarkan oleh sentuhan ibu maka hanya
menjadi anak yang lemah lembut dan perasa. Sikap gagah perkasa sang ayah
hilang. Sikap gagah perkasa malah diartikan anak sebagai bentuk penindasan,
bukan perlindungan. Maka urusan rumah tangga sudah menjadi tanggung jawab
bersama.
======================================================================
Mengacu Pada Ajaran Agama
Selama
ini yang dijadikan argumen adalah ajaran agama mengajarkan bahwa pekerjaan
rumah tangga dan merawat anak adalah tugas istri. Jadi, meski istri bekerja,
istri tetap wajib mengerjakan pekerjaan rumah tangganya. Bukankah dengan ini
Islam sama saja melanjutkan penjajahan terhadap hak-hak perempuan? Padahal
dengan tegas dinyatakan Islam mudah menjunjung tinggi derajat wanita.
Para
pendahulu kita pun tidak mencontohkannya. Rasulullah Saw bahkan sering membantu
Sayyidah Aisyah mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan rasulullah Saw juga
menjahit bajunya sendiri.
Barangkali
yang dijadikan acuan adalah perihal Sayyidah Fatimah
yang meminta tugas rumah tangga dibagi. Ia mengerjakan tugas dalam rumah, dan
Sayyidina Ali Khw tugas luar rumah. Akan tetapi, sayyidina Ali ternyata dalam
kesehariannya selain mengerjakan tugas di luar rumah, beliau juga membantu
Sayyidah Fathimah mengerjakan tugas dalam rumah.
Tapi
memang, semuanya kembali pada pilihan masing-masing. Jika keduanya nyaman
dengan pembagian tugas asalnya masing-masing: istri mengurus rumah tangga dan
suami mencari nafkah, maka hal ini bukan masalah. Yang masalah adalah timbulnya overlapping terhadap tugas wanita: selain bekerja,
pekerjaan rumah tangga juga dibebankan pada istri dengan beralasan bahwa itu
ajaran agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar