Laman

Minggu, 28 Desember 2014

Urusan Rumah Tangga Tetap Tanggung Jawab Wanita?


R.A Kartini sudah melakukan pergerakan emansipasi wanita sejak penjajahan Belanda. Namun masih banyak yang menyerahkan urusan rumah tangga pada wanita sesibuk apapun dia.


Perempuan memang sudah mendapatkan haknya untuk berkecimpung aktif baik dalam pendidikan maupun pekerjaan. Bahkan tidak sedikit profesi di bidang teknik yang dijalankan perempuan secara gemilang. Namun, anehnya, tanggung jawab mengurus keluarga tetap dibebankan pada wanita.



Lelaki, masih banyak yang enggan ikut mengurus rumah tangga bersama sang istri. Lelaki tidak malu apalagi gengsi saat sudah banyak wanita yang bisa mengerjakan pekerjaan lelaki. Tapi mereka tetap tidak mau mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga. Sehabis bekerja seharian, sang wanita juga diminta mengurusi rumah dan anak.

Sedangkan sang lelaki? Biasanya tinggal ongkang-ongkang kaki menunggu cemilan sore atau santap malam. Sementara wanitanya sibuk memandikan dan mengurusi anak yang masih kecil-kecil sambil menyiapkan masakan. Tak jarang yang berlaku seperti itu adalah para lelaki yang menganggur !

Ini artinya, kemampuan wanita sudah 2x lipat lelaki. Ini artinya, penampilan fisik lelaki yang lebih perkasa dan lebih kuat hanyalah kamuflase agar tetap bisa menindas wanita jika mereka sedang marah. Lelaki justru tidak bisa mengimbangi kemampuan fisik wanita yang lebih lemah.

Sikap seperti ini adalah bentuk penolakan secara tidak langsung terhadap emansipasi wanita. Sikap seperti ini juga menunjukkan masih nyamannya lelaki dengan gayanya kolonialnya. 

Biasanya laki-laki akan berdalih, “Kalau urusan rumah-tangga ya sudah jadi tugas perempuan”. Padahal anak yang hanya dibesarkan oleh sentuhan ibu maka hanya menjadi anak yang lemah lembut dan perasa. Sikap gagah perkasa sang ayah hilang. Sikap gagah perkasa malah diartikan anak sebagai bentuk penindasan, bukan perlindungan. Maka urusan rumah tangga sudah menjadi tanggung jawab bersama.

======================================================================

Mengacu Pada Ajaran Agama

Selama ini yang dijadikan argumen adalah ajaran agama mengajarkan bahwa pekerjaan rumah tangga dan merawat anak adalah tugas istri. Jadi, meski istri bekerja, istri tetap wajib mengerjakan pekerjaan rumah tangganya. Bukankah dengan ini Islam sama saja melanjutkan penjajahan terhadap hak-hak perempuan? Padahal dengan tegas dinyatakan Islam mudah menjunjung tinggi derajat wanita.

Para pendahulu kita pun tidak mencontohkannya. Rasulullah Saw bahkan sering membantu Sayyidah Aisyah mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan rasulullah Saw juga menjahit bajunya sendiri.

Barangkali yang dijadikan acuan adalah perihal Sayyidah Fatimah yang meminta tugas rumah tangga dibagi. Ia mengerjakan tugas dalam rumah, dan Sayyidina Ali Khw tugas luar rumah. Akan tetapi, sayyidina Ali ternyata dalam kesehariannya selain mengerjakan tugas di luar rumah, beliau juga membantu Sayyidah Fathimah mengerjakan tugas dalam rumah.


Tapi memang, semuanya kembali pada pilihan masing-masing. Jika keduanya nyaman dengan pembagian tugas asalnya masing-masing: istri mengurus rumah tangga dan suami mencari nafkah, maka hal ini bukan masalah. Yang masalah adalah timbulnya overlapping terhadap tugas wanita: selain bekerja, pekerjaan rumah tangga juga dibebankan pada istri dengan beralasan bahwa itu ajaran agama. 


Tidak ada komentar: