Laman

Kamis, 19 Mei 2016

Tetap “Muda” di Tanggal Tua

Ini adalah sebuah acara Kompetisi Blogger ShopCoupons X MatahariMall. Yang diselenggarakan oleh ShopCoupons. voucher mataharimall dan hadiah disponsori oleh MatahariMall.
mataharimall-kompetisi

Cerita di tanggal tua bagi abdi negara seperti saya pastinya lebih bikin dag dig dug ketimbang mereka yang bekerja di swasta. Saya sudah tau konsekuensinya ketika saya memutuskan menjadi seorang abdi negara. Untuk Golongan III(a), gaji lebih rendah dari UMR DKI Jakarta, Rp.2.500.000. Banyak rekan sesama abdi negara yang mengeluh, katanya tanggal 5 gaji sudah habis. Banyak juga yang baru terima gaji langsung habis terpotong untuk membayar cicilan rumah.





********************************************

“Sam, kamu punya uang ga?”, tanya kakak saya ketika saya masih usia 11 tahun

“Ada sih. Emang untuk apa?”

“Begini, saya kan mau ikut ujian kenaikan ban[1], tapi saya ga punya uang”, jelas kakak saya
Karena iba dan karena di saya jumlah uang tersebut ada, saya berikan lah pada kakak saya.


Kali lain, saat saya sedang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA)

“Sam, ada uang gak?”, tanya kakak saya yang lain.

Ia sudah lama menganggur. Kedekatannya pada saya, membuatnya terbiasa meminta uang pada saya yang terbiasa menyisihkan uang jajan sekolah. Karena kasihan, saya berikan sampai beberapa kali.

Saat duduk di sekolah dasar, 70% yang yang diberikan mama sebagai uang jajan, saya tabungkan. Saya hanya mengambil 30% untuk uang jajan saya. Karenanya, jarang yang melihat saya menghamburkan uang. Teman saya ada yang iri melihat tabungan saya yang cepat sekali naiknya. Maka sejak itu dia mengikuti gaya saya, 70% ditabung, 30% dipakai jajan.

 Sebelumnya, saya juga termasuk orang yang enggan menabung. Dengan menabung, saya merasa musti mengurangi menikmati uang saya. Tapi saya salah, menabung justru membuat saya lebih bisa menikmati uang saya. Saya jadi bisa membeli apa yang saya inginkan.  


Khaidir Sang Inspirator

Saat usia 5 tahun, saya sempat di rawat di rumah sakit. Saya sekamar dengan seorang anak laki-laki yang seumuran dengan saya, Khaidir namanya. Kami sering dibelikan majalah anak-anak oleh orang tua kami masing-masing. Suatu saat, kami menemukan hadiah celengan dari kertas di majalah yang sama-sama kami beli. Lalu kami pun membuat celengan dengan mengikuti pola yang telah diberikan. 

“Sam, bagaimana kalau kita berlomba mengisi celengan masing-masing? Siapa yang penuh lebih dahulu, dia yang menang”, tantangnya. Aku pun menyanggupinya. Meski aku sadar, aku pasti kalah.

Tapi tantangan ini membuat kami selalu berupaya mempercepat isi celengan kami. Siapapun yang datang menjenguk kami, kami minta mengisi celengan kami. Mulai dari saudara, kakek, nenek, sepupu, hingga tetangga. 

Selepas sembuh dan keluar dari rumah sakit, saya meminta mama memegang celengan saya. Suatu hari saya diajak mama berbelanja tas dan sepatu. Hal ini membuat kakak saya iri. Karena saya tidak enak, saya tanya pada mama, “mengapa hanya saya yang dibelikan tas dan sepatu, sedang kakak saya tidak?”.“Sepatu dan tas kamu itu dibeli dari uang tabungan celengan kamu ketika di rumah sakit”, jelas mama. 

Sejak itu saya benar-benar menghargai sesedikit apapun uang yang saya dapat, untuk saya tabung. Saya telah mendapatkan bukti hasilnnya ketika saya masih kecil. Sejak itu pula, saya selalu menyisihkan uang yang saya dapat untuk ditabung. Sebisa mungkin tabungan harus lebih besar dari pengeluaran. Jika tidak bisa, paling tidak 50% pengeluaran, 50% tabungan.





Membuat Daftar Pengeluaran

Mungkin kalau saya tidak sakit dan dirawat di rumah sakit, saya tidak akan mengenal Khaidir. Orang yang telah mengajarkan dengan langsung mempraktikkan akan besarnya manfaat menabung. Saya pun akan menjadi seperti kebanyakan orang yang tidak perhitungan dalam pengeluaran, jatah menabung hanya sedikit, bahkan sering kali pengeluaran lebih besar dari pada pendapatan.

Dengan mengenal Khaidir, selain menabung, saya jadi terbiasa memprioritaskan pengeluaran saya dalam sebulan. Saya utamakan untuk yang mendesak, kemudian yang penting, kemudian yang lainnya kalau masi bisa dikeluarkan. Prioritas pengeluaran ini saya lakukan karena di tahun pertama saya kerja, uang gaji selalu habis, padahal tidak banyak yang saya keluarkan.

Setelah diselidiki, ternyata pengeluaran terbesar ada pada makan. Kita seringkali tidak perhitungan untuk makan. Untuk makan siang lengkap dengan jusnya bisa mencapai Rp.30.000. Satu bulan, pengeluaran untuk makan siang saja bisa mencapai 1 juta rupiah. Di sini saya jatah, membeli makan yang maksimal Rp.20.000 tanpa membeli jus atau minuman. Justru minum air putih setelah makan lebih sehat ketimbang jenis minuman lainnya. 

Dari sinilah saya selalu membuat daftar pengeluaran di setiap bulannya. Agar saya tahu pos-pos yang mana saja yang berlebih. Dari situ saya bisa langsung menekannya.

*****************************

Terbiasa Susah

Lulus kuliah, orang tua dan kakak saya otomatis langsung memutus pemberian uang ke saya. Padahal saya tetap butuh uang untuk mondar-mandir melamar pekerjaan. Saat-saat seperti ini membuat saya cukup stres. Barang kali ini yang dinamakan tanggal tua untuk saya. Ketika kuliah pun saya sering hanya punya uang untuk ongkos naik kereta saja. Tapi di depan teman-teman, saya diam saja sambil berdoa mudah-mudahan uang saya cukup.

Salah satu siasat saya, saya sering menghilang kalau jam makan siang tiba. Saya shalat dluhur lebih awal dari yang lainnya. Jadi, sementara teman-teman makan, saya shalat dluhur. Di samping saya bisa leluasa shalat lebih awal, saya bisa menghindari dari penglihatan kawan-kawan kalau saya sedang tidak punya uang untuk membeli makan siang. Lalu setelah mereka selesai makan, gantian saya yang ke kantin, beli minuman penunda lapar. Perut saya lumayan tertahan laparnya sampai saya pulang ke rumah.

Saya pernah hampir dua tahun tidak bekerja. Namun dalam kondisi seperti itu, saya tetap bisa memberi uang bulanan pada orang tua saya, disertai uang pembayaran telepon dan listrik hingga satu tahun lamanya. Padahal saya tidak punya pekerjaan apapun saat itu. Saya juga masih bisa beli pakaian baru. Bagaimana bisa?

Uang yang saya peroleh pada pekerjaan sebelumnya selalu saya tabung. Kebetulan, bulan terakhir saya bekerja, saya ditugaskan ke daerah. Selain uang penugasan ke daerah, juga ada uang lembur yang per jamnya 1,5 kali per jam kerja biasa. Apalagi hampir tiap hari lembur sampai menjelang dini hari. Pekerjaan pun penuh, dari senin sampai minggu, tidak da hari libur. Karenanya saat resign, saya memegang uang yang cukup lumayan untuk pegangan.


Selain itu, kehidupan yang susah membuat saya terbiasa berhemat. Uang yang saya keluarkan saya perhitungkan masak-masak. Apakah itu kebutuhan yang sifatnya mendesak, penting, atau sekedar senang-senang. Dan memberi pada orang tua, biar bagaimanapun adalah hal yang mendesak bagi saya. 

Level kemendesakan pengeluaran. Paling utama level I, kemudian level II, terus berkurang prioritasnya hingga level IV. Dengan membuat kuadran seperti ini, saya jadi tahu mana yang musti didahulukan jika ada bentrokan pengeluaran.  Doc.pribadi



Tidak Mau Ikut-ikutan

Saya tidak mau ikut-ikutan. Dahulu saya memang sempat kepincut ingin punya rumah. Apalagi kalau bukan karena alasan gengsi. Tapi apalah artinya gengsi kalau sampai mengorbankan kebutuhan sehari-hari. Sampai mengencangkan ikat pinggang sampai rata-rata lebih dari sepuluh tahun lamanya.

Sering teman-teman di kantor mengejek perihal saya yang belum punya rumah. Pilihan saya tidak mau ikut-ikutan mencicil rumah atau kendaraan karena saya tidak mau terikat dengan hutang yang lebih sering total cicilan yang dibayarkan bisa mencapai dua kali lipat harga jual rumah atau kendaraannya. Selain dalam agama juga tidak diperbolehkan berhutang model seperti itu, meskipun berlabel syariah.

Saya bukan abdi negara yang ditugaskan di DKI Jakarta, yang gaji pokok untuk golongan III(a) saja bisa mencapai 8 juta rupiah, belum lagi tunjangan jabatannya. Bukan pula di Kementerian elit dengan tunjangan remunerasi yang begitu besar. Kementerian tempat saya bekerja adalah kementerian yang baru pada tahap awal remunerasi.


Ikut Kalang Kabut

Tapi untuk mereka yang sudah berkeluarga masih saja jumlah remunerasi yang jumlahnya kurang dari gaji pokok tetap tidak cukup. Selain cicilan rumah dan kendaraan, mereka juga harus memenuhi kebutuhan anak-anaknya seperti pendidikan dan kesehatan.

Tidak perlu sampai tanggal tua, banyak teman di kantor yang sudah kalang-kabut saat pertengahan bulan. Katanya gajinya sudah habis begitu saja. Padahal ia juga dapat nafkah dari suaminya. Yang laki-laki, perilakunya hampir sama, sering minta sarapan atau ditraktir. Padahal proyeknya ada di mana-mana.

Sedang saya, saya juga ikut kalang-kabut. Tapi yang membuat saya kalang-kabut bukan karena gaji yang cuma 2,5 juta rupiah. Saya kalang kabut ketika jumlah tabungan saya tidak senilai uang remunerasi. Uang remunerasi ini biasanya turun di hari Jumat minggu ketiga. 



Saya terbiasa menjadikan uang remunerasi sebagai tabungan saya. Tujuannya, ya untuk jaga-jaga kalau ada pengeluaran tak terduga. Tujuan yang kedua, ya untuk beli rumah juga, tapi lunas, bukan mencicil. Makanya saya biasakan menabung. Jumlah tabungan hampir sama dengan pengeluaran. Jika ditotal, 50% pengeluaran, 50% menabung.

Begitulah gaya saya, sebulan 2,5 juta rupiah sangat cukup bagi saya. Itupun saya sudah bisa beli pakaian yang sedang ngehits, makan di restoran, dan beberapa kali nonton bioskop. Ini semua tidak tergantung tanggal. Asal ada, ya jalan saja.

Qo bisa? Untuk menyiasati datangnya tanggal tua, sehari-hari saya biasa hemat. Mulai dari bawa bekal ke kantor, isi bensin yang dipenuhi biar tidak cepat habis, hingga makan siang hanya kalau lapar saja. Apakah ini membuat saya sakit? Tentu tidak. Kalau saya lapar ya saya makan. Tapi berhubung paginya sudah sarapan, jadi saya sangat jarang merasa lapar di siang hari.

Dan yang paling utama, selalu saya sisihkan 20% untuk orang tua saya. Selain itu, saya juga membayar uang listrik dan telepon di rumah. Kemudian berbagi pada sesama, mulai dari keponakan sampai siswa pelatihan pencari kerja di BBPLK Cevest Bekasi. Saya yakin, dengan berbagi, hidup kita pun akan mudah dan berkah. Uang saya tidak banyak, tapi selalu cukup. Betapa banyak orang yang uangnya banyak tapi selalu tidak cukup.


Berbagi dengan siswa Pencari Kerja. Doc.pribadi

Sudah berkali-kali saya rasakan manfaat dari indahnya berbagi. Semua pasti balik ke diri saya sendiri. Pernah ketika pulang kerja uang di dompet hanya tinggal 2000 rupiah. Saat itu saya tinggal di kontrakan sendiri. Ya namanya tinggal sendiri pasti serba nanggung kalau masak. Jadinya saya pilih beli. Saya sudah niatkan ketika pulang kerja mau mampir ke Anjungan Tunai Mandiri (ATM). 

Ternyata di parkiran saya bertemu senior saya yang sudah lama ingin mengajak ke rumahnya. Saya bilang, saya tidak tahu jalan untuk pulang. "Nanti saya antar. Saya juga mau keluar lagi, mau cari makan", katanya. "Sam, kamu mau pesen apa, saya traktir?", tanyanya ketika kami sudah sampai di tempat ia membeli makan sambil mengantarku pulang dari rumahnya. Walhasil, hari itu saya tidak jadi ke ATM yang letaknya cukup jauh dari kontrakan saya.

Pernah juga saya sudah kebingungan karena uang di kantong menipis. Sedangkan saya tidak mau mengutak-katik jatah tabungan saya. Dalam kondisi seperti itu, ternyata saya diberitahu kalau honor mengajar sudah turun. Mungkin ini yang dinamakan rezeki yang berkah dengan banyak berbagi. Ketika butuh, uang itu pun datang dengan sendirinya



***********************************************


Biaya Hidup, Bukan Biaya Gaya Hidup

Berhubung pengeluaran saya hanyalah seputar kebutuhan sehari-hari, maka saya tidak terperangkap pada biaya gaya hidup. Gaya hidup saya tidak macam-macam. Sekedarnya saja, yang penting senang. Kalau ada kesempatan traveling ya traveling, tapi tidak sampai merutinkan yang jauh-jauh dan mahal.

Setelah beberapa kali ke pelosok nusantara karena tugas pekerjan, saya berkesimpulan bahwa tujuan wisata di Inonesia hampir-hampir mirip, hanya sedikit perbedaan. Entah di pepohonannya, entah juga di batu-batuan dan batu karangnya, atau di bangunannya. Setiap ke suatu tempat, rasanya hampir de javu dengan tempat sebelumnya.

Traveling bagi saya adalah momen melepas penat dan mendapatkan ketenangan. Makanya saya tidak mau ikut-ikutan traveling ketika long weekend. Sering kali traveling saat long weekend bukan ketenangan yang didapat, malah menambah stres karena macet dan padatnya jadwal kereta dan pesawat.

Cukup beristirahat dan tidur-tidur cantik di rumah lalu bangun sudah bisa makan masakan ibu, itu sudah lebih dari traveling bagi saya. Cukup dengan berkumpul dengan keluarga atau dengan orang-orang terdekat yang kita sayang, itu sudah lebih dari traveling bagi saya. Cukup dengan bertemu kawan lama dan saling bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing, itu sudah lebih dari traveling menurut saya.

Tuh, kapan lagi saya bisa benar-benar refreshing kalau bukan bersama keluarga? Aksinya ngangenin kaaannnnn..... Sumber: doc.pribadi

Kedua, saya membiasakan membawa makanan dari rumah untuk sarapan di kantor. Saya juga biasakan makan malam di rumah. Selain hemat, makanan di rumah pun habis dan tidak basi karena tersisa hingga pagi. Makan masakan rumah pun jadi lebih sehat karena jauh dari bahan kimia yang merusak tubuh. Jauh dari minyak jelantah, jauh dari gorengan dengan plastik, jauh dari saus dari tomat busuk dan cabai busuk. Bukan sekedar hemat, tapi juga sehat.

Ketiga, saya tidak punya cicilan rumah atau mobil. Kalau saya mau, saya bisa ikut-ikutan mencicil rumah atau mobil, tapi saya tidak mau. Saya tidak nyaman melihat parkiran kendaraan yang kian memakan bahu jalan, meskipun itu resmi dan membayar pada ketua RW setempat. Saya tidak nyaman dengan mereka yang suka parkir sembarangan bahkan sampai menutupi jalan masuk rumah yang diparikiri mobil mereka di depannya. Saya tidak nyaman dengan kemacetan kota Jakarta, karenanya saya tidak mau menambah kemacetan Jakarta dengan membeli (mencicil) kendaraan baru. Untuk rumah, lebih baik saya menabung ketimbang mesti mengkriditnya. Saya tidak mau mesti membayar dua kali lipat dari harga rumah tercantum hanya karena itu kridit. 

Sudah saatnya masyarakat kita ini diedukasi kembali akan pentingnya mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Tidak perlu sampai memaksakan diri membeli mobil demi terlihat bergengsi padahal tidak punya tempat untuk parkir. Apalagi mobil yang dibeli adalah mobil cicilan. Apalagi kini, sudah ada kendaraan pribadi yang bisa disewa melalui aplikasi online di handphone untuk bepergian ke mana pun di dalam kota.

Sudah bukan zamannya lagi memiliki sesuatu hanya untuk kepentingan pribadi. Apalagi sampai mengorbankan kepentingan orang lain karena makin banyak mobil, makin macet pula jalan raya. Kemacetan menambah waktu perjalanan. Tingginya polusi udara dari kemacetan menyebabkan masyarakat mudah sakit. Jelas sudah, sikap egoisme berjamaah memberikan dampak buruk yang juga berjamaah.


Stand Matahari di Pekan Raya Jakarta (PRJ)

Karena saya terbiasa hemat, maka saya jarang belanja, kecuali kalau benar-benar perlu. Dahulu, saat pameran diisi barang-barang yang benar-benar didiskon, saya senang mendatanginya. Saya bahkan merutinkan ke pameran untuk mencari barang yang saya perlukan. Tapi kini, harga barang di pameran sama saja dengan di mall. Sudah berbayar, penuhnya orang yang berbelanja membuatku kesulitan mencari barang incaran yang benar-benar didiskon.

Keramaian Pekan Raya Jakarta(PRJ). Penuh diskon dan promo di mana-mana. Sumber foto: tribunnews.com


Tahun 2013 saya menemani teman-teman dari daerah ke PRJ. Bisa dibilang ini kali kedua setelah yang pertama saat masih SD. Meskipun digembar-gemborkan banyaknya diskon besar-besaran di PRJ, saya tidak bergeming. Buktinya ketika kami ke stand komputer dan kamera, kami mendapat harga yang sama. Hanya saja diberi bonus tas atau kaos. Untuk laptop, diberi bonus mouse. Bukan hal yang signifikan untuk saya.

Sebelumnya saya tidak pernah mau belanja di Matahari Departement Store. “Harganya mahal, apalagi jika dibandingkan dengan harga di grosiran yang biasa saya beli”, pikir saya. Sampai akhirnya tibalah saya di suatu stand yang dipenuhi dengan pakaian, sepatu, dan tas-tas bagus tapi harganya hampir menyamai harga di grosiran. Saya terbelalak ketika sampai kasir dan ternyata saya menerima plastik berlogo Matahari Departemen Store ! Momen ini membuat saya kembali mendatangi stand matahari di PRJ untuk membeli barang yang lebih besar, yaitu tas koper, yang hanya 200 ribu rupiah !

Tidak seperti pusat perbelanjaan lainnya yang harganya dinaikkan dahulu baru didiskon, diskon di Matahari Departement Store itu benar adanya, meski sampai 70% ! Ini pengalaman saya pribadi ketika iseng ke salah satu mall dan ternyata ada stand khusus untuk diskonnya barang-barang Matahari Departement Store.  PRJ tahun berikutnya, saya bahkan hanya mengincar stand Matahari Departement Store. Baju yang biasanya dijual dengan harga 300 ribu rupiah, saat itu hanya seharga 70 ribu rupiah.  

Awalnya saya pikir diskon Matahari Departement Store hanya di PRJ saja. Artinya, saya musti menunggu satu tahun lamanya untuk bisa berbelanja barang-barang berkwalitas dengan harga terjangkau. Ketika saya mengunjungi Metropolitan Mall Bekasi, ternyata Matahari Departement Store juga sedang mengadakan diskon 70% untuk baju-baju yang setipe dengan yang saya beli di PRJ.  Untuk jenis baju yang yang pantas untuk dipakai saat hari raya atau kondangan, mungkin hanya Matahari Departement Store yang mau memberikan diskon besar-besaran !



Kini, setelah ada Matahari Mall, saya pun merutinkan mencari barang yang saya butuhkan di Matahari Mall.  Mengikuti cara Budi, saya pun bisa tetap “muda” di tanggal tua. Keunggulan dari pelapak lainnya, barang yang ada di Matahari Mall bisa diantar langsung[2]. Selain itu, barang yang kita beli langsung mendapat asuransi dari Lippo Insurance. Jadi, jika gadget yang kita beli di Matahari Mall rusak karena jatuh, terbanting, atau kena air, kita bisa dapat klaimnya. Asuransi tersebut berlaku sampai 365 hari lamanya. 






Matahari Mall juga punya program khusus di tanggal tua, yaitu TTS. Lah qo malah diajak isi teka-teki? Husss...... TTS yang ini beda. TTS yang ini singkatan dari Tanggal Tua Surprise. Diskon bisa sampai 80% untuk tiap item yang dibeli, pada tanggal tua, yaitu minggu ketiga di setiap bulannya. Nah, jadi kalau mau serba diskon, belanjanya pas tanggal tua saja. Sudah diskon, gratis ongkos kirim pula. Diskon akan bertambah kalau kita pakai kartu debet atau kartu kredit yang bekerja sama dengan Matahari Mall.  



 Matahari Mall juga sering memberikan info diskon, hadiah, dan promo. Di sana selain banyak diskon dari Matahari Mall, juga banyak voucher belanja, gratis ongkos kirim, hingga hadiah kejutan menarik. Dengan begini, kita akan tetap akan ceria di tanggal tua.








[1] Istilah yang digunakan pada pencak silat untuk tingkatan kemahiran dalam pencak silat
[2] Untuk item-item tertentu

Tidak ada komentar: