Personal
branding dibentuk melalui proses terus-menerus dan berkesinambungan. Branding
yang terbentuk dari rekam jejak akan jauh lebih kuat dan lebih mengena
ketimbang branding manipulatif dari media.
Personal branding terdiri atas dua kata yaitu personal yang berarti perseorangan, dan branding yang berarti cap atau citra diri. Jadi personal branding dapat dikatakan
sebagai citra diri seseorang.
Personal branding merupakan hal yang sangat alamiah karena manusia memiliki
kecenderungan untuk menonjolkan dirinya. Demikian disampaikan oleh Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. DR. Din Syamsudin dalam acara peluncuran
dan bedah buku “Personal Branding” Kunci
Kesuksesan Berkipran di Dunia Politik karya Dewi Haroen di Function Room Toko Buku Gramedia Matraman, Minggu, 6 April 2014.
Mengganti nama merupakan salah satu teknik dalam
personal branding. Dalam kehidupan
sehari-hari, personal branding kita
terbentuk dari sikap kita sehari-hari dan kesan orang sekitar tentang diri
kita. Sering kali, sebaik apapun kita, tetap saja ada omongan negatif tentang
diri kita. Ini berarti kita belum berhasil melakukan personal branding diri kita.
“Personal branding
yang berhasil adalah jika orang-orang sudah bercerita tentang orang tertentu
dengan narasi yang baik,” jelas Prof. DR. Hamdi Muluk, Guru Besar Psikologi
Politik Universitas Indonesia.
Media memiliki peranan penting dalam pembentukan personal branding seseorang. Apalagi
kini hampir seluruh media dikuasai oleh partai/aliansi politik tertentu. Namun
hal ini dapat diimbangi dengan media yang netral atau media yang beraliansi
dengan lawan politiknya.
Namun, seiring dengan pesatnya informasi, maka rekayasa personal branding di media aliansi tokoh
tertentu dapat dibendung dengan makin banyaknya sumber informasi independen.
Artinya, media boleh beramai-ramai beriklan dan bahkan bercerita secara
informatif atau naratif tentang tokoh tertentu, tapi tetap publik/masyarakat
punya penilaian tersendiri.
“Untuk membendung ‘tipuan’ media, kita bisa mengenali siapa
sebenarnya seseorang melalui karakternya”, jelas Prof. Hamdi Muluk. Selain itu,
branding juga bisa dilihat melalui karya dan prestasi.
Dewi Haroen, pengarang buku “Personal Branding”, seorang Psikolog dan
Staf Pengajar di Trisakti School of
Management sekaligus pendiri AMALIA Psychology
Consulting & Training Center mengungkapkan
dalam bukunya tentang kunci kesuksesan berkipran di dunia politik melalui personal branding.
Menurutnya, personal
branding ini tidak bisa instan, mesti melalui proses terus-menerus yang berkesinambungan. Jadi, branding seseorang terbentuk dari rekam
jejaknya. Banyak orang yang dicitrakan sangat positif oleh media, tapi memiliki
cacat dalam rekam jejaknya. Branding
yang terbentuk dari rekam jejak akan jauh lebih kuat dan lebih mengena pada
masyarakat ketimbang branding manipulatif dari media.
Sedikitnya ada tiga
cara dalam membangun personal branding
yang mempesona tapi bukan manipulatif. Pertama, jadilah diri kita sendiri. Dengan menjadi diri sendiri orang
sekitar lantas dapat benar-benar mengenali jati diri kita yang seungguhnya.
Kedua, kenali diri kita. Dengan mengenali diri kita masing-masing, kita jadi
tau apa kelebihan dan kekurangan kita. Dan ketiga, terus kembangkan seluruh kelebihan dan potensi diri kita. Potensi diri
kita inilah yang menjadi brand yang
dipasarkan.
Dalam hal berpolitik, kata Prof. Hamdi Muluk, partai politik
mestilah berideologi. “Tanpa ideologi, politik menjadi hal yang dangkal dan
semu karena semuanya diukur dari hasil, bukan proses”, jelasnya memaparkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar